Header Ads

Header Ads

PGMI Bedah Buku “Pendidikan Sensitif Gender”


HMPS PGMI (Himpunan Mahasiswa Program Studi) menggelar bedah buku “Pendidikan Sensitif Gender: Internalisasi Karakter Sensitif Gender dalam Kurikulum Pendidikan” karya Inayatul Ulya MSI, Senin (23/4/2018). Acara diikuti oleh mahasiswa, dosen serta peserta dari luar yang mempunyai minat pada isu-isu kesetaraan gender.

Pada kesempatan itu, penulis buku yang akrab disapa Ibu Ina itu menyampaikan bahwa kesetaraan gender dalam bidang pendidikan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan karena pendidikan adalah hak setiap orang. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati layanan pendidikan.

Meski demikian, di lapangan muncul sejumlah fenomena bahwa pendidikan sekolah belum mampu menghapus stereotip gender seperti dalam hal materi ajar yang banyak menunjukkan kekentalan perbedaan gender. Buku-buku teks pelajaran di Sekolah Dasar menggambarkan kegiatan ibu dan bapak secara berbeda. Ibu sering digambarkan memiliki peran domestik saja seperti memasak, mengasuh anak dan membersihkan rumah. Sedangkan bapak digambarkan memiliki peran publik yg lebih dominan misalnya bekerja mencari nafkah, pergi ke kantor dsb.

Begitu juga dalam hal permainan. Permainan anak laki-laki digambarkan dengan gambaran fisik yang aktif seperti bermain mobil-mobilan, sementara perempuan digambarkan pada aktivitas yang cenderung lebih pasif seperti bermain boneka.

Menurut Ina, materi pendidikan semacam itu merupakan perluasan stereotip gender yang dapat berimplikasi pada pembakuan peran sosial laki-laki dan perempuan. Imbas dari hal tersebut berpengaruh pada jurusan pendidikan yang dianggap pantas bagi perempuan adalah yang bersifat melayani orang seperti keperawatan, sekretaris dsb. Sedangkan jurusan yang dianggap pantas bagi laki-laki adalah jurusan yang mampu bersaing dalam pasar kerja.

Berdasarkan data di BPS beberapa tahun terakhir menunjukkan gap tingkat partisipasi perempuan dan laki-laki dalam pendidikan khususnya ketika sudah masuk pada level perguruan tinggi. Sehingga rendahnya pendidikan pada perempuan akan menjadikan perempuan tertinggal dalam segala hal. Beban yg lebih berat juga akan dialami perempuan dikarenakan ketidakmampuannya memiliki keterampilan yang lebih baik. Hal ini berimbas pada sedikitnya pilihan pekerjaan yang dapat dilakukan perempuan.

Sebagai pembanding dalam bedah buku, hadir aktivis gender kepesantrenan Dr Jamal Makmur Asmani yang melihat kesetaraan gender dengan pendekatan agama. Dr Jamal menyampaikan bahwa meskipun Islam lahir di Arab yang kental dengan budaya patriarki, Nabi memposisikan diri sebagai pejuang kesetaraan dan keadilan gender, khususnya bagi perempuan. Ajaran yang dibawa Nabi melarang mengubur bayi perempuan, memberikan hak waris, mewajibkan mahar dan minta ijin pada wali ketika ingin menikahi perempuan, tidak mengucilkan perempuan ketika sedang haid, dan memberikan kesempatan menuntut ilmu  yang sama baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan adanya bedah buku ini diharapkan dapat menjadi motivasi dan mental masyarakat yang sensitif gender sehingga pada akhirnya menuju pada keadilan dan kesetaraan gender.