Tidak dapat dipungkiri sebagai negara yang
memiliki berbagai suku, ras, budaya, bahasa dan agama, akan rawan terjadi
konflik di tengah masyarakatnya. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah konflik yang terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan agama atau aliran dalam suatu agama. Konflik di Poso antara
umat Islam dan Kristen, pembakaran tempat ibadah kaum Ahmadiyah, Gafatar, Tolikara,
dan konflik antar aliran Sunni Syiah di Jawa Timur, merupakan contoh bahwa konflik
berlatarbelakang perbedaan terjadi di Indonesia.
Hal itu yang
menjadi pembahasan serius dalam diskusi dwi mingguan Prodi PGMI IPMAFA kemarin,
Sabtu (15/10). Diskusi yang dinamakan Forum Kajian Pendidikan Dasar Islam tersebut bertempat di lantai tiga kampus IPMAFA diisi oleh narasumber Inayatul Ulya dan diikuti oleh seluruh mahasiswa PGMI IPMAFA. Tema yang diangkat adalah “Pendidikan Multikultural sebagai Alternatif Resolusi Konflik Agama di
Indonesia”
Narasumber yang biasa disapa Inayah ini
menyampaikan bahwa terbentuknya konflik antar umat beragama itu karena
perbedaan memahami doktrin agama, fanatisme berlebihan, dan faktor lain yang berasal
dari luar agama seperti kepentingan
politik, ekonomi, dan sosial.
Selain itu konflik dapat terjadi sebagai akibat perbedaan
prinsip dan keyakinan yang tidak dikelola dengan baik, padahal sebenarnya
setiap agama mengajarkan nilai-nilai perdamaian, termasuk agama Islam.
“Di sinilah perlu adanya media untuk
mentransformasikan nilai-nilai tersebut, yaitu pendidikan Islam multikultural,”
jelas wanita yang menjabat Kaprodi
PGMI ini.
Secara tegas
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 menyebutkan
bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.
Islam sebagai
agama yang mengatur setiap lini kehidupan manusia, memiliki nilai-nilai yang
melandasi pelaksanaan pendidikan multikultural yaitu nilai toleransi, nilai
perdamaian, dan nilai penghargaan terhadap keberagaman. “Maka pendidikan Islam
multikultural menjadi alternatif solusi konflik antar umat beragama di
Indonesia yang dapat diimplementasikan melalui pendekatan dalam proses
penyelenggaraan pendidikan,” tegas kandidat doktor UIN Walisongo ini.
Dalam forum tersebut juga disampaikan
bahwa pendidikan multikultural merupakan gerakan pembaharuan di bidang
pendidikan untuk merespon terjadinya kondisi sosial masyarakat yang saat ini membutuhkan pengakuan dan
pernghargaan atas eksistensinya.
Urgensi
pendidikan multikultural di antaranya dapat menjadi media untuk resolusi konflik, melestarikan kebudayaan, memberi
motivasi dalam kreativitas
dan inovasi di masyarakat,
sertta dapat
menjadi landasan pengembangan kurikulum pendidikan.
Forum
diskusi ditutup dengan penegasan Inayah bahwa pendidikan multikultural dapat diimplementasikan dalam dua hal meliputi
integrasi materi dan integrasi kultur budaya sekolah. Dalam materi pembelajaran
melalui konsep ta’aruf (saling mengenal), takrim (saling
menghormati), fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan), husnuzhan
(berbaik sangka), dan Islah (resolusi konflik). Sedangkan dalam
kultur budaya sekolah dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan sesuai norma agama
dan masyarakat.
0 Comments