Bulan Mei disebut juga dengan bulan pendidikan, dimana
setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bertepatan
dengan momentum tersebut, forum diskusi dwi mingguan “Dialektika” dari Prodi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) IPMAFA mengusung tema “Refleksi Sejarah dan
Makna Pendidikan Nasional” untuk dielaborasi dalam forum diskusi (10/5).
Kegiatan tersebut menghadirkan Nikmatin Khomsiyah, alumnus IPMAFA, sebagai
narasumbernya.
Bertempat di lantai 2 kampus IPMAFA, Bu Anik, sapaan
akrab narasumber, mengajak peserta Dialektika untuk merenungkan kembali makna
pendidikan bagi diri sendiri dan kehidupan. “Mengapa kita harus sekolah?
Mengapa tanggal 2 Mei dijadikan Hardiknas?”, tanyanya mengawali diskusi. Menurut
dosen yang menyelesaikan pendidikan S2 di Sudan ini, tanggal 2 Mei adalah hari
lahir Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Ki Hadjar Dewantara, lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Atas peran dan
perjuangannya memajukan pendidikan di nusantara maka dipilihlah hari lahirnya
sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hadjar mencurahkan energi dan pikirannya untuk
pendidikan bangsa Indonesi. Dia juga banyak menulis karya di antaranya Als
Ik Eens nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda). “Karya tersebut merupakan sindiran
kepada Belanda atas penjajahan yang dilakukannya. Karena karya tersebut
Ki Hadjar diasingkan ke Pulau Bangka kemudian dipindahkan ke Belanda. Karena
pembelaan dari Douwes Dekker dan Cipto
Mangunkoesoema akhirnya beliau dipulangkan ke Indonesia”, demikian penjelasan
ibu satu anak ini. Sepulangnya ke tanah air, Ki Hadjar mendirikan Perguruan Nasional
Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta yang merupakan awal dari konsep
pendidikan nasional.
Perguruan
Taman Siswa adalah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi
para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para
priyayi maupun orang-orang Belanda. Konsep Taman berarti tempat bermain yang
menyenangkan, serta Siswa berarti orang yang belajar. Ki Hadjar memilih nama
Taman Siswa dengan harapan rakyat pribumi dapat belajar dengan senang dan
tenang sesuai kebudayaan nusantara. Anik menjelaskan, “Atas jasanya dalam
merintis pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara dinyatakan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305
tahun 1959 tertanggal 28 November 1959, hari kelahiran Ki Hajar Dewantara yaitu
tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional”.
Salah satu ajaran Ki Hadjar Dewantara yang terkenal adalah
sistem among, yaitu “tiga filosofi” konsep kepemimpinan. Pertama, Ing Ngarso Sun Tulodho, menjadi seorang
pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahnya
yang berarti harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah
dan tindakannya. Kedua, Ing Madya Mangun
Karsa, di tengah-tengah membangun kemauan, seorang pemimpin juga harus
mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan menciptakan
suasana kerja yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja. Ketiga, Tut Wuri Handayani, seorang pemimpin harus memberikan dorongan moral dan
semangat kerja dari belakang.
Pada sesi terakhir, Anik mengajak peserta Dialektika
membaca realitas pendidikan saat ini dengan kacamata Freire, tokoh pendidikan
dunia asal Brasil. Paradigma pendidikan kritis Paulo Freire lahir dari
pengamatan Freire pada sekolah yang banyak menerapkan gaya bank, pendidikan
sebatas transfer of knowledge. Siswa
sama sekali tidak diberikan ruang untuk berkreasi dan kritis. “Itulah realitas dari
kebanyakan sekolah kita saat ini”, imbuhnya.
Dehumanisasi dalam pendidikan dapat dilihat dari
beberapa tanda, yaitu kebudayaan bisu, dimana masyarakat lebih memilih diam dan
tidak memperjuangkan pikiran dan perasaan mereka sendiri. Selanjutnya
ketergantungan, yakni ketidakmampuan untuk menjadi pelaku sejarah atau subjek,
hal ini banyak diakibatkan karena mereka sengaja dibuat menjadi seakan tidak
berdaya pada kelompok lain dan keadaan. Tanda terakhir adalah kesadaran kritis
yang terkekang, masyarakat dibuat sedemikian rupa sehingga mereka tidak mampu
berpikir dan berbuat kritis, hanya bisa menerima (fatalistik) atas keadaan
apapun dari penguasa.
Menurutnya, kesadaran adalah kunci untuk memulai
proses pendidikan dan kesadaran itu datang dari diri yang mampu membaca
realitas diri dan lingkungannya. Kegelisahan merupakan awal proses pemikiran
kritis seseorang. “Melihat pendidikan nasional kita yang carut marut, serta
pemerintah yang korat karit, sangatlah naif jika kita hanya mengharapkan
perubahan dari pemerintah. Kekuatan untuk mengubah dan memperbaiki ada di
tangan rakyat dan ada di tangan kita sendiri. “Kitalah para pemimpin di balik
layar Indonesia”, ucapnya penuh semangat saat menutup Dialektika PGMI.
0 Comments